Rabu, 30 September 2015

wisata belanja

Sunan Muria di Kudus Jawa Tengah

Ziarah ke Makam Sunan Muria di Kudus Jawa Tengah, Tempat Wisata Terindah - Di Kabupaten Kudus Jawa Tengah ada dua buah makam Walisongo yang sangat terkenal, yaitu Makam Sunan Kudus dan Makam Sunan Muria. Kedua makam ini banyak dikunjungi oleh masyarakat baik warga Kudus sendiri maupun masyarakat diluar Kudus. Makam Sunan Muria setiap harinya banyak dikunjungi oleh para peziarah. Namun akan lebih ramai lagi pada hari Kamis Wage karena pada hari itu dipercaya sebagai hari neton Sunan Muria. Makam Sunan Muria merupakan makam yang cukup unik karena berlokasi di lereng Gunung Muria. Akses ke lokasi makam lumayan berat karena berada di puncak sebuah bukut. Untuk sampai ke lokasi makam, anda harus menempuh perjalanan yang naik turun. Namun  anda jangan khawatir karena disini banyak sekali ojek yang siap mengantarkan anda ke lokasi Makam. Biaya ojek di Makam Sunan Muria tidak lah mahal, yaitu sekitar Rp. 8000 sekali jalan, itu sudah diantar sampai ke lokasi Makam. 
Lokasi Makam Sunan Muria di Kudus
Makam Sunan Muria terletak di lereng Gunung Muria di Kabupaten Kudus Jawa Tengah atau tepatnya beralamat di Desa Colo Kecamatan Dawe Kab. Kudus. Dari Terminal Kudus, anda dapat naik angkutan kota yang langsung menuju ke Muria, yaitu jurusan Colo.
Sejarah Makam Sunan Muria di Kudus
Nama asli dari Sunan Muria adalah Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, Raden Said adalah putra dari Sunan Kalijaga hasil pernikahan beliau dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Raden Said dikenal sebagai Sunan Muria karena beliau dimakamkan di Gunung Muria, yaitu sebuah gunung yang berada di perbatasan Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati. Sunan Muria merupakan salah satu penyebar agama Uslam di Pulau Jawa bersama sembilan Sunan lainnya yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo.

Di sekitar Makam Sunan Muria, anda juga dapat menikmati berbagai produk asli dari warga sekitar, yaitu misalnya kopi, pisang byar, jeruk pamelo, rambutan, durian dll. Namun produk yang bisa dibilang unik adalah buah parijoto. Parijoto merupakan buah asli Gunung Muria. Masyarakat setempat percaya bahwa seorang ibu yang sedang mengandung apabila memakan buah parijoto maka anak yang dilahirkan akan apabila perempuan maka akan menjadi cantik dan apabila laki-laki maka akan memiliki wajah yang tampan. Cantik dan tampan ini masih simpang siur apakah dalam arti fisik maupun perangainya. Ya, namanya juga mitos yang berkembang di masyarakat, khususnya di seputar Makam Sunan Muria.

Selain itu anda juga menikmati sajian Wisata Kuliner yang sangat menarik, yaitu pecel pakis Colo. Pakis merupakan tanaman khas pegunungan yang dimanfaatkan oleh warga sekitar menjadi masakan yang enak.

SUNAN MURIA

Asal Usul Sunan Muria
Sunan Muria yang memiliki nama asli Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama Muria diambil dari nama tempat tinggal terakhir beliau di lereng Gunung Muria, kira-kira delapan belas kilometer ke utara Kota Kudus. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya.  Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam.  Salah satu hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti.
Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati. Peranan serta jasa Sunan Muria semasa hidupnya membuat makam beliau yang terletak di Gunung Muria sampai hari ini tidak pernah sepi peziarah.

Colo dan Bukit Muria
Di sebelah Utara kota Kudus dengan jarak 18 km. terdapat desa bernama Colo. Desa Colo ini terletak di lereng bukit Muria, yakni salah sebuah bukit dari beberapa puncak di Gunung Muria yang tingginya 1600 meter lebih. Di atas bukit Muria itulah letaknya makam Sunan Muria, di belakang Masjid yang konon dibuat sendiri oleh beliau. (Masjid itu sekarang telah dipugar sehingga hilang keasliannya kecuali hanya beberapa bagian saja yang masih asli, namun itupun adalah bekas pugaran juga).

Mengapa bukit atau gunung itu dinamakan Muria?
Menurut hypotesa Solihin Salam dalam bukunya "Kudus Purbakala Dalam Perjoangan Islam" terbitan Menara Kudus halaman 47 — 50, yang mana setelah Solihin Salam mengutip dari buku "A Short Cultural History of Indonesia" karya Soetjipto Wirjosoeparto, berpendapat bahwa nama Muria itu diidentifikasikan dengan nama sebuah bukit di dekat Yerussalam Palestina. Di dekat Yerussalam atau Darussalam sana yang terdapat juga disebut Baitul Maqdis, ada sebuah bukit yang bernama Gunung Moriah, di mana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dahulu membangun sebuah kanisah.
Perlu diketahui bahwa nama kota Kudus mungkin diambil dari sebuah inskripsi tentang berdirinya Masjid Menara Kudus, yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun  956 H.   (1549 M) yang mengatakan bahwa kota ini bernama Al Quds.
Maka nama Muria mengingatkan kita pada nama sebuah bukit di dekat kota Baitul Maqdis atau Yerussalam atau Darussalam itu.
Desa Colo dijadikan obyek pariwisata oleh Pemerintah Daerah Kudus. Di sana telah berdiri banyak villa, dengan hawanya yang sejuk, terdapat sebuah grojogan atau air terjun (curug) bernama MONTHEL. Bila hari Minggu banyak orang berekreasi, terutama pada hari-hari ramainya ziarah ke makam Sunan Muria, yakni pada hari-hari Kaniis Legi dan Jum 'at Paing.

Makam Sunan Muria dan Masjidnya.
Sunan Muria dimakamkan di atas puncak bukit bernama bukit Muria. Dari pintu gerbang masih naik lewat beratus tangga (undhagan) menuju ke komplek makamnya, yang terletak persis di belakang Masjid Sunan Muria. Mulai naik dari pintu gerbang pertama paling bawah hingga sampai pelataran Masjid jaraknya kurang lebih 750 meter jauhnya.
Setelah kita memasuki pintu gerbang makam, tampak di hadapan kita pelataran makam yang dipenuhi oleh 17 batu nisan. Menurut Juru Kunci makam, itu adalah makamnya para prajurit dan pada punggawa (orang-orang terdekat, ajudan dan semacam Patih dalam Keraton).
Di batas utara pelataran ini berdiri bangunan cungkup makam beratapkan sirap dua tingkat. Di dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di sampingnya sebelah timur, ada nisan yang konon makamnya puterinya perempuan bernama Raden Ayu Nasiki.
Dan tepat di sebelah barat dinding belakang masjid Muria, sebelah selatan mihrab terdapat makamnya Panembahan Pengulu Jogodipo, yang menurut keterangannya Juru Kunci adalah putera sulungnya Sunan Muria.



SUNAN KUDUS

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Jati Diri Sunan Kudus
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti MuhammadSunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa. Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Nasab Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.

Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut. “…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” 
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.

Asal Usul Nama Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak.
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.

Fakta mengenai Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya.
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara.
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).

Dakwa Sunan Kudus
Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus. -language:EN-US;mso-bidi-language:AR-SA'>Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).

Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa KerjasanKota Kudus, yang kini terkenal dengan namaMasjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Wafat Sunan Kudus
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

Keturunan Sunan Kudus
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.


Volly Ball Kandang Mas Cup



TURNAMEN BOLA VOLLY SILIWANGI CUP DESA KANDANG MAS
Turnamen Bola Volly Siliwangi Cup di desa Kandang Mas Kecamatan Dawe yang dimulai  tanggal 01 Oktober sampai dengan 12 Oktober 2015 ini  digagas oleh para pemuda karang taruna desa Kandang Mas dalam rangka Memasyarakatkan olah raga bola volley dan meningkatkan prestasi bola volley desa kandang mas pada khusus nya yang diikuti oleh bebagai tim volley yang berada di kudus seperti tanjung rejo, undaan, Kecamatan Dawe, Gembong, Krapyak  dll. Dalam turnamen kali ini tim peserta hanya 10 tim yaitu
1.    Tunas Wijaya kandang Mas ( Desa Kandang Mas )
2.      Vodka (Tanjung Rejo)
3.      Kuba Undaan (Desa Undaan)
4.      Loka Gumara ( Kecamatan Dawe)
5.      Siliwangi (Kandang Mas)
6.      Obvog (Gembong)
7.      Putra Jengala (krapyak)
8.      Merpati
9.      Meteor
10.  Vonsar Jekulo

Dalam turnamen kali ini panpel memakai system gugur dalam setiap pertandingan nya, dimana setiap tim yang kalah akan langsung angkat koper dari turnamen tersebut.
Dalam pertandingan pembuka ( 1-10-15) Tim yang bertanding adalah
Tunas Wijaya Kandang Mas vs Vodka Tanjung Rejo, dengan score 3-0 untuk kemenangan tuan rumah dengan kemenangan telak tersebut tim tuan rumah berhak maju keputaran kedua.
Pada keesokan harinya (2-10-15) Tim yang bertanding adalah Kuba Undaan vs Loka Gumara yang berhasil dimenagkan oleh tim Kuba Undaan dengan skor 3-0 dan Tim Kuba Undaan berhak maju ke babak selanjutnya.


Di Lamar Motor


Bagaimana konsep acara lamaran sederhana ? Setiap orang tentunya mempunyai sebuah impian tentang pernikahan sebab pernikahan ialah salah satu jenjang terbesar nan menghantarkan kita ke fase baru nan juga terpenting dalam hidup.
Namun, pernikahan bukanlah sebuah hal sederhana nan dapat dilakukan oleh siapa pun dan kapanpun. Pernikahan nan merupakan gerbang masuk ke kehidupan baru, memerlukan kesiapan total bagi siapapun nan ingin melaksanakannya.
Tidak hanya kesiapan mental dan usia nan cukup, tetapi juga kesiapan materi alias finansial nan juga menjadi faktor primer berjalan baiknya sebuah pernikahan. Selain itu, buat menjalani sebuah pernikahan, Anda juga harus melewati beberapa proses, yaitu mulai dari perkenalan, sosialisasi karakter masing-masing, hingga acara lamaran dan kemudian pernikahan.
Salah satu acara krusial nan merupakan proses sebelum terlaksananya pernikahan ialah acara lamaran. Tidak seperti lamaran pada umum nya lamaran yang 1 ini sangat unik dan hanya ada di desa Masin Kecamatan dawe, kudus setiap seorang pria yang akan melamar kekasih nya pasti akan memberikan sebuah sepeda motor baru untuk kekasih pujaan hatinya dan tidak ketinggalan alat alat rumah tangga yang lain. dalam kesempatan kali ini saya sempat bertanya kepada sang pria mengapa harus memberikan motor baru padahal itukan harganya cukup lumayan " ini sudah menjadi tradisi desa kami mas kalau tidak motor ya kerbau." 

AKIBAT REGULASI MEMASUNG, MAKSIMALISASI DBHCHT DINILAI KURANG



WartaKudus.com- Hingga periode tahun ke-7, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Kudus dinilai belum dapat dirasakan manfaatannya bagi kalangan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan para buruh. Penyerapan DBHCHT bagi pengembangan dan penguatan IHT realitasnya justru berbuah sebaliknya, yakni semakin banyak IHT yang berhenti berproduksi.

Disisi lain, realitas DBHCHT tak ubahnya dana habis pakai. Buruh di lingkungan IHT masih saja miskin dengan upah standar minimum. Dengan kata lain, DBHCHT belum memberikan pengaruh signifikan bagi peningkatan kesejahteraan buruh di lingkungan IHT.

Keluhan kalangan IHT dan buruh terhadap realisasi DBHCHT telah banyak disampaikan kepada pihak pemerintah. Bukan tidak mendengarkan keluhan, pemerintah daerah berdalih regulasi terkait penggunaan DBHCHT yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 84/PMK.07/2008 dinilai telah membatasi penggunaan DBHCHT.

“Pemkab pasti menolak jika dikatakan tidak pernah melakukan evaluasi dan kajian penggunaan DBHCHT yang tepat untuk menjawab keresahan kalangan IHT dan ketakutan buruh. Regulasi mengenai penggunaan DBHCHT dinilai sangat membatasi langkah Pemkab dalam merealisasikan anggaran,” ujar Koordinator Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kudus, Slamet Machmudi, 26 September 2015.

Tolak ukur keberhasilan DBHCHT, menurut pria yang sering disapa mamik itu seharusnya mampu memberikan dampak positif bagi kelangsungan IHT dan para buruh. DBHCHT diorientasikan tidak hanya agar IHT tetap berproduksi, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi buruh korban PHK akibat regulasi pemerintah tentang tembakau.

Untuk mewujudkan hal tersebut, menurutnya, dibutuhkan politic will (kemauan politik) pemerintah daerah. Tidak hanya sekedar mewacanakan dukungan terhadap IHT, namun juga keberpihakan nyata, perlindungan dan pelestarian produk tembakau.

“Butuh kebijakan pemerintah daerah untuk melindungi IHT agar DBHCHT dapat terus dinikmati masyarakat dalam bentuk pembangunan dan pemberdayaan,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, pihaknya mengkritik pemerintah daerah yang dinilainya semakin bingung merealisasikan DBHCHT. Indikator kebingungan pemerintah daerah, menurutnya, dapat dibaca melalui program-program yang monoton terkait dana DBHCHT.

“Dibutuhkan kreatifitas untuk membelanjakan DBHCHT berdasarkan kebutuhan masyarakat IHT,” katanya yang mengungkapkan kebijakan yang salah dalam merealisasikan DBHCHT tidak akan memperbaiki kondisi IHT dan para buruh.
REGULASI PENGGUNAAN DBHCHT PERLU DIREVISI

Wakil Ketua DPRD Kudus, Elwani, saat menerima perwakilan sejumlah aktifis dalam rangka refleksi 1 tahun pelantikan DPRD Kudus, 21 Agustus 2015, menjelaskan perlunya revisi aturan penggunaan DBHCHT. Pasalnya, lima ketentuan dalam penggunaan DBHCHT membuat eksekutif tidak berani mengambil resiko menggunakan di luar ketentuan yang ada.

“Harus ada revisi terkait peraturan menteri Keuangan yang mengatur penggunaan DBHCHT,” tegas politisi PKB yang berencana melakukan kunker ke daerah penghasil produk tembakau. Banyak usulan dan kreatifitas dalam mengelola DBHCHT menjadi mandek lantaran aturan yang ada tidak jelas. Sehingga, lanjutnya, eksekutif tidak berani melaksanakan karena memiliki kekhawatiran menghadpi persoalan hukum dikemudian hari. (Bastian )

#DBHCHT
foto : ilustras

KUDUS KOTA KRETEK



Rokok Kretek adalah warisan budaya, tak ubahnya warisan budaya lain seperti batik. Ramuan tembakau dan cengkeh ini pertama kali ditemukan oleh warga Kudus, haji Djamhari pada tahun 1980. Sebuah budaya asli Indonesia...Industri rokok kretek di Kudus tak lepas dari sosok Haji Djamhari yang meninggal pada tahun 1980. Dari ketidaksengajaan yang dilakukan, kemudian berkembanglah industri rokok kretek seperti sekarang. Alkisah karena deraan penyakit dada yang menyesakkan napasnya, ia mencoba mengoleskan minyak cengkeh pada dada dan punggungnya. Sekalipun tidak sembuh betul, napasnya dirasakan tidak sesak seperti sebelumnya.
Dari pengalaman tersebut, Djamhari mencoba cara lain lagi yakni dengan cara mencampurkan rempah-rempah itu pada rokok yang diisapnya. Cengkeh yang ia rajang halus docampurkannya dengan tembakau yang ia linting menjadi batang rokok. Berkat rokok campuran cengkeh rajangan itu, H Djamhari kemudian terbebas dari sesak napasnya. Sukses percobaannya pun cepat menyebar kemana-mana. Banyaknya permintaan akan rokok dengan campuran cengkeh memaksa Djamhari membuat dalam jumlah besar. Sejak masa itulah kemudian industri rokok terlahir. Dan rokok cengkeh yang saat diisap menimbulkan bunyi kretek-kretek karena cengkeh yang terbakar, khalayak kemudian menyebut rokok tersebut sebagai rokok kretek.

PAKAIAN ADAT KOTA KUDUS




PAKAIAN ADAT WANITA
  • Caping Kalo
  • Baju kurung beludru
  • Jarik/Sinjang Laseman
  • Selendang Tohwatu
  • Selop kelompen
  • Aksesoris kepala dan leher yaitu sanggul besar dengan cunduk mentul berjumlah lima atau tiga buah, Suweng beras kecer atau suweng babon angkrem, kalung (sangsang) robyong berjuntai lima (5) atau berjuntai sembilan (9), menghiasi leher sampai dengan dadanya, kancing peniti dari keping mata uang: ece, ukon, rupih atau ringgit, gelang lungwi, cincin Sigar Penjalin
PAKAIAN ADAT PRIA
  • Blangkon gaya Surakarta
  • Beskap Kudusan
  • Jarik Laseman
  • Selop alas kaki
  • Ikat pinggang atau Timang
  • Keris motif Gayaman atau ladrangan
NILAI FILOSOPI
Caping kalo tutup kepala
bentuknya bulat melambangkan bahwa setiap manusia wajib berpasrah diri secara bulat dan untuk kepada Sang Maha Pencipta, Allah S.W.T, Caping Kalo : melambangkan manusia supaya mampu menutup telinga (nacapi kuping), terhadap suara-suara negatif yang merugikan kehidupan, sebab disana banyak segala kemungkinan ( kae-lhoooooo [dalam bahasa Indonesia artinya : disana lho] ) yang perlu diwaspadai.
 
Kalung robyong berjuntai lima atau sembilan
melambangkan bawalah kemana saja (kalungake; Jw.) sebagai pegangan hidup yaitu lima rukun Islam, yang diajarkan oleh para wali di tanah Jawa (Wali Songo), tentang Iman dan Islam. Lakukanlah secara berobyong (kebersamaan seiman guna mencapai kebahagiaan dunia/akhirat).
 
Kancing peniti berupa uang emas direnteng
melambangkan bahwa manusia harus menghargai nilai-nilai iman sampai ke dalam relung hati, kancinglah (kuncilah/tutuplah) segala sesuatu yang biasanya menggoda hati manusia dan menghancurkan manusia. Terimalah dengan senang hati bila dihinakan (diece-kancing-ece), teguhlah kepada berbagai cita-cita mulia (rupi-rupi-pengarah-kancing rupiah Jw.), agar nilai hidupmu tetap bernilai tinggi, lebih tinggi dari uang ringgit emas di dadamu.
 
Gelang Lungwi
melambangkan Pagari dan ikatlah kedua tanganmu seerat dan sekuat tali lungwi, yaitu tali tampar yang terbuat dari kulit bambu apus agar tanganmu terkendali dan tidak terjerumus melakukan perbuatan tercela, yang meskipun secara lahiriah tampak menguntungkan, tetapi sebenarnya manusia tertipu (kapusan-pringapus).Berbuatlah engkau seperti elungnya uwi (pucuk jalur tanaman ubi), selalu merunduk meskipun berusaha berdiri. Kaum muda harus waspada karena masih hijau pengalamannya (pucuk elung uwi hijau muda), karena setiap kelengahan akan mudah patah (masih muda/lunak) dan kahirnya pasti merugi.
 
Gelung Sanggul Bercunduk Mentul
melambangkan janganlah mahligai dirimu tidak terawat, aturlah dengan kebulatan tekad pasrahmu dan sisipkan angan citamu perbuatan yang mikolohi serta cundhuk (sesuai) dengan mentul merunduknya imanmu. Jadikanlah tingkah lakumu yang membuat mentul, bijaksana serta adil.
 
Keris pusaka
melambangkan disengker cikben ora miris. Pusaka piyandel harus selalu melekat pada tubuh manusia, agar tidak mengalami keraguan atau ketakutan dan guna memperoleh ketenangan jiwa bawalah pusaka. Yang paling ampuh ialah kalimat syahadat.. Janganlah manusia lepas dari kalimat syahadat karena bila terlepas bisa menghantarkan manusia ke neraka.Bersikaplah gagah kesatria, karena pusaka sudah melekat pada tubuhmu.
 
Jam Gandul Berantai Emas
jam melambangkan petunjuk tentang waktu, seharusnya tidak boleh menunda waktu ibadah lima waktu dimana saja, jaga aja nganti kesundhul (gandhul) wektu amarga kena godha rentengana ngoyak bondho (emas).Tegasnya demi waktu janganlah ibadah menjadi tertunda akibat terlilit oleh harta benda.
 
Blangkon/ikat kepala
memberikan peringatan kepada manusia agar bersikap lebih terbuka dan jangan suka memberi perintah kepada orang lain (blakblakan lan aja tukang sepakon atau blangkon). Lindungilah otakmu dari semua gangguan, ikatlah seerat mungkin tekadmu demi kebagusan (kebaikan).
 
Suweng Beras Kecer/Babon Angkrem
memberi peringatan kepada manusia agar jangan berbuat gegabah jangan tergesa-gesa berbuat meskipun dibakar oleh santer/kekerasannya suara dan informasi yang membangkitkan amarah. (Suweng = aja kesusu ngaweng/nyabet, sanajan beda laras, hammangkelake lan ngekecer wirang).Tutuplah telinga rapat-rapat dan redamlah suara negatif meskipun menyakitkan hati, karena semua cercaan, hinaan, cemoohan dan ejekan adalah pundi-pundi kebahagiaan.

RUMAH ADAT KOTA KUDUS


Nilai arsitektur tradisional rumah adat Kudus merupakan salah satu wujud kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional warisan nenek moyang masyarakat Kudus. Nilai kebudayaan tersebut pada prinsipnya berupa bentuk bangunan, bahan, struktur dan fungsi bangunan dengan macam ragam seni hias, motif dan cara pembuatannya. Bila ditilik dari bentuk, tata ruang, ragam hias, sestem ekonomi yang terkandung didalamnya maka gaya arsitektur tradisional rumah adat Kudus merupakan perpaduan antara kebudayaan Cina, Hindu dan Islam. Rumah Adat Kudus, yang menurut kajian historis-arkeologis, telah ditemukan pada tahun 1500 – an M, dibangun dengan bahan baku 95 % berupa kayu jati dengan teknologi pemasangan sistem “knoc-down” (bongkar pasang tanpa paku). Merupakan seni ukir 4 dimensi dari perpaduan seni ukir Hindu, Persia (Islam), Cina, dan Eropa, dengan tetap ada nuansa ragam hias asli Indonesia. Keunikan Rumah Adat Kudus yang juga cukup menarik untuk dicermati adalah kandungan nilai-nilai filosofis yang direfleksikan rumah adat ini.
 

Sejarah Singkat Ukiran Kudus

Seni ukir di Kudus mulai ketika seorang imigran dari Cina yaitu The Ling Sing tiba pada abad 15. Beliau datang ke Kudus tidak hanya menyebarkan ajaran Islam tetapi juga menekuni keahliannya dalam kesenian mengukir. Aliran kesenian The Ling Sing adalah Sun Ging yang terkenal karena halus dan indahnya. Dari daerah Kudus inilah beliau banyak menerima murid yang mempelajari agama maupun seni ukir.
Perbedaan Ukiran Kudus dan Jepara
  • Seni ukir di Kudus berkembang pada pembuatan rumah. Ukirannya halus dan indah, bunganya kecil-kecil dan bisa 2 atau 3 dimensi.
  • Seni Ukir Jepara berkembang pada peralatan rumah tangga, misalnya almari, tempat tidur, kursi dan lain-lain. Bentuk ukirannya besar-besar.
 
Motif Ukiran Kudus
Rumah adat Kudus terdiri dari beberapa motif ukiran yang dipengaruhi budaya Cina, Hindu, Islam, Eropa. Motif dan gaya seni ukir tersebut adalah :
  1. Motif China berupa ukiran naga yang terletak pada bangku kecil untuk masuk ruang dalam
  2. Motif Hindu digambarkan dalam bentuk perpaduan yang terdapat di gebyok ( pembatas antara ruang Jogo Satru dan ruang dalam )
  3. Motif Persia / Islam digambarkan dalam bentuk bunga, terdapat dalam ruang Jogo Satru
  4. Motif Eropa digambarkan dalam bentuk mahkota yang terdapat diatas pintu masuk ke gedongan.
ragam hias ukiran, misalnya : pola kala dan gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce), motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.